Bunga Matahari-ku.

Sore itu, langit kelabu seolah menyerap semua keceriaan di taman. Aku duduk di sebuah bangku kayu yang lusuh, ditemani hembusan angin lembut. Ah, nostalgia sekali rasanya. Taman ini, tempat aku dan dia pernah bermain suatu masa dahulu. Secara tak sengaja, aplikasi Spotify yang tadi mengalunkan lagu rancak mulai bertukar kepada sebuah lagu sayu, “Gala Bunga Matahari” karya Sal Priadi.

Lagu ini membawaku kembali ke masa lalu, ke zaman TK saat pertama kali aku dan dia bertemu. Adam namanya, bocah nakal yang suka membuat onar. Tapi dalam kacaunya, ia bawa tawa canda beriringan yang membuatkan ramai orang terhibur. Kami berteman dekat, bahkan sering berbagi rahasia. Meski memoriku tentang dia perlahan memudar, ada satu kenangan yang tetap membekas: saat dia mencium pipiku tanpa aba-aba, lalu lari meninggalkanku yang terkejut — atau malu? Entahlah, yang kutahu, pipiku memerah. Tak lama setelah itu, aku harus pindah tempat karena pekerjaan orang tuaku. Berat sekali meninggalkan dia, padahal aku sudah terlanjur suka. Tapi, apa daya, harus bagaimana lagi? Suatu masa nanti, pasti kami dipertemukan lagi, dengan izin Tuhan.

Waktu berlalu, aku pun menginjak dewasa — tidak terlalu dewasa, baru berusia 12 tahun — dan tiba-tiba aku mendapat kontak Adam dari seorang teman. Entah kebetulan macam apa yang membawaku kepadanya, kami pun berkenalan lagi, berteman lagi tapi kali ini via online, soalnya kita di daerah berbeda. He looks all different, senyumnya tak lagi selebar dulu, matanya terlihat sedih seakan banyak menangis, pipinya cukup tirus. Apa yang terjadi selama beberapa tahun ini?

Kami sering berbicara melalui telepon, menceritakan banyak hal. Kadang kala,kalau rindu kami akan video call bersama, dan itu berlangsung hingga usiaku 14 tahun. Kami berbagi masalah yang sama, dua remaja yang terluka dengan keluarga yang jauh dari kata “cemara.” You know, people always say that two broken people trying to heal each other is love; itulah yang aku rasakan. Saat aku tak baik-baik saja, aku akan menghubunginya, begitu pula sebaliknya. Tapi dia kini pria yang tertutup. Bocah nakal yang aku kenal itu sudah berubah menjadi pemuda pendiam dan akur. Kadang, kalau harinya buruk, dia akan menghilang, coping mechanism-nya, he would ghost me, tapi hanya beberapa hari saja. .

Bercerita soal Adam, he loves stars, dia juga suka bunga. Seperti gadis-gadis, tetapi dia tahu banyak tentang bunga. Dia pernah bilang, bunga matahari itu lambang harapan; it was his favourite flower. Kadang aku kasihan, anak seceria dia harus hidup dengan keluarga yang berantakan, sampai senyumnya yang indah itu hilang. Bahkan aku selalu membuat hal konyol hanya untuk melihat senyum indahnya lagi walau aku sadar, itu semua palsu, tapi setidaknya aku berusaha.

Tepat bulan Juli, ia menghilang. Lama sekali, hampir tiga minggu. Dan aku tahu, rumahnya pasti sedang kacau. Suatu hari dia mengirim pesan seperti ini:

“keluargaku berisik sekali, kepalaku juga, sama riuhnya.”

“egois gak ya, kalo aku ninggalin mereka?”

“lelah…”

Siapa pun yang membaca pesan seperti ini pasti risau. Aku takut bukan main. Aku membimbingnya untuk duduk di balkon, tempat yang paling membuatnya tenang, lalu membiarkan angin berhembus menenangkannya. Dia mengirimku foto bulan sabit, cantik sekali.

Dan aku pikir, esoknya ia sudah baik-baik saja tapi aku salah. Dia menghilang bahkan lebih lama, selama dua bulan. Segala panggilanku tak dijawab, pesanku pun tak dibaca. Hening, sepi, dan kosong.

Hingga suatu hari, telepon itu akhirnya berdering, tetapi aku merasakan ada yang salah.

“Halo?”

Suara di ujung telepon itu adalah kakak Adam, dengan suara yang terisak. Ia bilang, adiknya sudah pergi dan aku, dengan segala kebodohanku bertanya,

“Adam pergi ke mana, Kak?”

Padahal aku tahu, tapi aku gak mau percaya.

“Adam pergi ke Tuhan, sayang…”

Sekelip mata, duniaku runtuh. Panggilan telepon itu seperti petir menyambar di siang bolong — temanku tega mengakhiri hidupnya setragis ini. Rasa bersalahku besar, aku belum sempat bertemu dengannya, aku belum mengucapkan selamat tinggal, aku belum merangkulnya lagi. Aku masih mau berbicara dengannya.

Lagu “Gala Bunga Matahari” masih terus berputar, setiap lirik itu mengiris hatiku membuka luka baru:

“Mungkinkah

Mungkinkah

Mungkinkah

Kau mampir hari ini

Bila tidak mirip kau jadilah bunga matahari

Yang tiba-tiba mekar di taman

Meski bicara dengan bahasa tumbuhan.”

Air mata yang sedari tadi ditahan mulai jatuh lagi. Sendirian, aku menatap bunga matahari yang berdiri tegak di situ, seolah-olah ada dia di sana. Aku berbicara kepadanya dengan bahasa yang hanya aku dan dia mengerti.

“Bagaimana tempat tinggalmu yang baru, Adam? Adakah sungai-sungai itu benar-benar dilintasi dengan air susu? Apakah badanmu tak sakit lagi? Apakah kau dan orang-orang di sana sudah senang, bebas dari beban dunia? Pasti sekarang kau sedang bermain-main di ladang bunga matahari yang kau sukai, kan?”

Aku merasakan kehadiranmu di setiap bait lirik itu, aku merindukanmu.

“Kan ku ceritakan padamu

Bagaimana hidupku tanpamu

Kangennya masih ada di setiap waktu

Kadang aku menangis bila aku perlu

Tapi aku sekarang sudah lebih lucu

Jadilah menyenangkan seperti katamu”

Aku merindukanmu tapi aku tak bisa apa-apa, aku hanya bisa menangisimu. Semoga bahagia di rumahmu yang baru, semoga kau mampir di mimpiku nanti malam, soalnya aku sudah mulai melupakan wajahmu yang lucu itu. Maafkan aku, aku juga sudah perlahan melupakan suaramu yang serak basah itu. Datang ke mimpiku, lalu berbicara denganku, aku rindu suaramu.

Pertemuan kita seakan terjalin dari titik-titik takdir yang tak terkuak. Begitu juga dengan perpisahan kita, menyisakan lukisan yang indah namun tak terjelaskan. Rasa perih dan kehilangan menghampiri, memudarkan bayang-bayang cinta yang singkat.

Selamat lena, bunga matahari-ku.

--

--

𝒔𝒂𝒓𝒂﹔༊
𝒔𝒂𝒓𝒂﹔༊

Written by 𝒔𝒂𝒓𝒂﹔༊

An open book with a torn-out page and my inks ran out, I want to love you but I don't know how.

No responses yet